·

Reuni Doni Monardo di Cijantung Menyapa Pohon, Mengenang Timtim (Bagian ke 2)

Catatan Egy Massadiah

Memori Lama

Menjelang meninggalkan lapangan tembak Rama-Sinta, tiba tiba seorang perwira pertama menyapa Doni dengan salam Komando. Memori lama Doni Monardo berputar ke peristiwa saat pangkatnya masih letnan satu.

Prajurit tadi adalah Kapten Inf I Gusti Ketut Riama. Ketut mengilas pengalaman operasi tempur di Timor Timur dulu. Saat itu, Ketut Riama berpangkat prajurit satu (Pratu), sementara Doni Letnan Dua.

Mereka tergabung dalam satu unit tugas, di bawah Satuan Tugas Cakra XV pimpinan Mayor Inf Heri Pisan. Sejatinya, penugasan pertama Doni Monardo ke Timtim adalah sebagai perwira muda yang ditugaskan di Satgas.

Akan tetapi, saat bersamaan komandan unit tempat Pratu Ketut bertugas, tertembak milisi Fretilin. Tembakan yang menembus dada, mengakibatkan tidak bisa lagi memimpin unit tugas memburu para Fretilin. Nama komandan unit itu adalah Sersan Burhan Samsudin.

“Beliau selamat, dan masih hidup sampai sekarang. Tapi akibat tertembak, komandan Satgas menugaskan Doni Monardo mengambil alih tongkat komando unit,” ujar Ketut yang selama tugas operasi tempur di Timtim banyak mengemban tugas bagian perhubungan. Karenanya, ia selalu melekat pada komandan.

Personel unit tugas yang berjumlah 10, berkurang satu menjadi sembilan. Sebab, satu prajurit bernama Humaidi tergolek sakit.

Sebagai catatan, Doni yang lulusan Akmil 1985 menjadi perwira muda yang belum memiliki pengalaman tempur. Sementara, sembilan orang pasukannya, meski berpangkat lebih rendah, tetapi sudah berkali-kali menjalani penugasan operasi tempur di Timtim.

Pratu Ketut sendiri mencatatnya sebagai penugasan ketiga di Timtim tahun 1987, saat berada di bawah komando Letda Doni Monardo. “Yang pasti, pak Doni sangat gigih. Selalu memotivasi dan membangkitkan semangat pasukan. Keyakinan dan keteguhan beliau sangat kuat. Inti arahan adalah keberhasilan menunaikan tugas. Waktu itu, kalau berhasil ‘mendapat’ Fretilin di hutan, rasanya sungguh luar biasa,” kenang Ketut.

Keyakinan dan Keteguhan

Ketut makin dalam membawa Doni Monardo ke lorong waktu tahun 1987, saat memburu milisi Fretilin di lereng Gunung Mundo Perdido. Gunung ini terletak di sisi timur Timor Timur. Sebuah hutan tropis pegunungan dengan aneka satwa liar, termasuk kuda-kuda liar.

Untuk bisa mencapai puncak padang rumput Mundo Perdido, perjalanan harus ditempuh melalui medan yang sulit. Itulah mengapa Mundo Perdido juga disebut The Lost World of East Timor. Karena itu pula, lokasi hutan Mundo Perdido dijadikan basis milisi Fretilin.

Suatu hari, atas petunjuk kordinat Satgas, tim di bawah pimpinan Doni menyusuri Mundo Perdido. Sebelum mendaki pegunungan, harus melewati sungai. Lepas dari sungai, pendakian dilakukan melalui lereng-lereng batu.

Tiba di satu titik, salah satu anggota unit bernama Kopral Ade memberi tahu Doni, “Bapak, ada orang. Ada musuh. Ada musuh!” Seketika semua diperintahkan tiarap. Sesaat kemudian, ketika salah satu prajurit mengintai, “musuh” tadi sudah tidak kelihatan batang hidungnya.

Doni pun memerintahkan pasukan melanjutkan pendakian lereng Gunung Mundo Perdido. Di salah satu bagian lereng, Doni menemukan semacam gua kecil atau rongga batu di lereng pegunungan. Pelan-pelan gua itu diobservasi. Ternyata, itu adalah gua penyimpanan logistik Fretilin. Terbukti dari ditemukannya alat makan, padi, keranjang, dan beberapa barang lain.

Meski lokasi itu bukan titik kordinat yang diarahkan Satgas, tetapi Doni mengambil keputusan, “Kita tunggu saja di sekitar area ini. Mereka (Fretilin) pasti akan datang mengambil makanan.”

Feeling Doni, Fretilin sudah mengendus kehadiran TNI. Setidaknya, ada milisi Fretilin yang sudah melihat Kopral Ade. Itu pula sebabnya, Fretilin tadi langsung kabur ke atas, ke area hutan. Mengawali strateginya, Doni mengajak Ketut, Ade dan yang lain naik ke area yang lebih terbuka. Sengaja supaya terlihat musuh.

Doni lalu “bersandiwara” seolah-olah tidak ada fretilin di situ, dan sebaiknya pulang. Maka meluncurlah perintah pura-pura dari Doni, “Di sini tidak ada fretilin, mari kita turun dan mencari di lokasi lain.” Anggota Doni yang asli Timor Timor kemudian sengaja meneriakkan dengan suara keras dalam bahasa Tetun agar terdengar oleh para anggota milisi fretelin di atas sana.

Waktu itu, matahari segera tenggelam. Saat temaram menyergap lereng Gunung Mundo Perdido, Doni membagi tiga pasukannya, dan berjaga di tiga titik yang berbeda. Pratu Ketut sebagai prajurit bagian perhubungan melekat di samping Doni. Dua regu kecil lainnya terdiri masing masing 3 orang, mencari lokasi bersembunyi, yang dari persembunyiannya tetap bisa melihat dengan jelas ke arah gua tempat penyimpanan logistik Fretilin tadi.

Malam itu, Doni Monardo dan pasukannya merebahkan tubuh di lereng gunung, beratapkan bintang gemintang. Prajurit digilir tidurnya. Selalu ada yang siaga, saat yang lain beristirahat.

Sampai matahari terbit di ufuk timur, tidak ada pergerakan di sekitar gua. Salah seorang anggota prajurit mengajukan saran kepada komandan Doni untuk meninggalkan area itu. Doni bergeming. Ia tetap perintahkan bertahan, meski matahari mulai merangkak naik, dan sengatnya mulai menusuk kulit.

Para prajurit patuh. Tapi tidak lama kemudian, lewat komunikasi radio, seorang anak buahnya kembali menyarankan kepada komandan Doni untuk bergeser. Doni bergeming. Kali ini, masih juga saran itu diusulkan, ditambahi embel-embel alasan, “di sini bau taik. Baunya gak tahan komandan.”

Antara rasa ingin memenuhi permintaan anak buah yang terkepung bau kotoran manusia, dan insting bahwa pasukan harus bertahan, sebab anggota milisi pasti akan turun mendatangi gua logistik.

Doni teguh pada instingnya, dan –terpaksa— mengabaikan sengatan bau tak sedap yang menusuk hidung prajuritnya. “Tetap bertahan di posisi masing-masing,” perintah Doni tegas. Keyakinan Doni pun makin kuat, bahwa akan ada “sesuatu”.

Sekadar informasi, komunikasi prajurit dan komandannya dilakukan melalui radio tactical jenis AN/PRC-77. Radio ini pertama kali digunakan tahun 1968, dan langsung dioperasikan oleh GI (tentara AS) di Perang Vietnam.

PRC-77 ini pula yang digunakan sebagai tactical radio standar untuk unit tempur TNI, terutama bagi satuan infanteri TNI-AD dan Korps Marinir TNI AL. Jug pada ajang pertempuran TNI vs Fretilin di tahun 1975 dan seterusnya. Termasuk yang dibawa Pratu Ketut di sisi Letda Doni Monardo. Radio tactical itu adalah buatan JETDS (Joint Electronics Type Designation System) Amerika Serikat.

Medan Pengintaian

Pas matahari di atas ubun-ubun, tampaklah satu orang Fretilin turun dari hutan menuju lokasi gua. Satu orang. Hanya satu orang. “Mereka sudah pinter. Tidak pernah turun berkelompok. Pasti keluarnya satu-satu dan dalam jarak saling berjauhan, tapi masih bisa melihat antara satu dan lainnya,” kisah Ketut.

Itu artinya, tidak mungkin bisa menyergap Fretilin dalam jumlah besar. Satu-satunya kesempatan adalah menyergap satu orang yang berada dalam jangkauan tembak. Benar. Saat satu anggota milisi Fretilin tiba di bibir gua, pasukan Doni Monardo pun memberondong dengan tembakan hingga tewas. Sementara, fretilin-fretilin lain yang ada di atas, spontan balik arah dan lari kembali masuk ke hutan.

Doni dan pasukan segera menghambur menuju lokasi gua. Setelah memastikan satu fretilin tewas, pasukan Doni Monardo pun mengambil senjata musuh dan melanjutkan buruannya ke atas lereng. Mengejar para milisi Fretilin ke hutan dengan posisi siaga penuh. Yang berlari paling kencang, tentu saja prajurit yang mendapatkan pos pengintaian dekat kotoran tadi.

Pengejaran pun sampai ke bibir hutan. Selangkah demi selangkah mereka masuk ke tengah hutan. Tidak satu pun fretilin berhasil dijumpai. Ketika pasukan tiba di ujung hutan yang lain, tampak sebuah perkampungan. “Kalau sudah masuk kampung, susah. Kampung di sana itu seperti wilayah abu-abu, tidak jelas mana penduduk sipil mana yang klandestin,” tutur Ketut.

Babi di Gunung Tiba

Kisah tidak berhenti di situ. Dan Doni Monardo masih tertarik mengenang operasi yang ia jalankan semasa tugas di Timor Timur bersama –antara lain—Kapten Ketut Riama yang dulu masih berpangkat Pratu.

Kisah berlanjut ke penugasan di lereng gunung yang lain. Bukan di Gunung Mundo Perdido, tetapi di gunung Tiba Silo. Berangkat dari markas Satgas di distrik Baucau, kota terbesar kedua setelah Dili, pasukan Doni mencapai Hutan Tiba Silo pukul 15.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA).

Mendadak ada seekor babi hutan lari tunggang langgang. Sementara di kejauhan sana, tampak ada asap mengepul. Sigap Doni menyimpulkan, tak jauh di depan terdapat markas milisi fretilin. Perintah selanjutnya, sembilan prajurit berjalan berderet tetapi membentuk formasi sejajar, melewati jalan setapak. Sebagian di kiri, sebagian di kanan, dan sebagian di tengah. Letda Doni dan Pratu Ketut di tengah.

Tak lama berjalan, pasukan di kiri dan kanan melihat ada Fretilin bergerak. Tanpa aba-aba, mereka langsung memberondongkan tembakan. Milisi Fretilin pun kabur ke arah atas, dan menghilang ke dalam hutan. Doni segera memerintahkan pasukannya mengejar.

Akan tetapi, salah seorang prajurit menyampaikan usul dengan sikap correct, bahwa sebaiknya menunggu. Sebab, jika langsung mengejar, bisa jadi di atas sana pasukan milisi sudah siap menghadang dengan senapan terkokang.

Doni adalah komandan unit tempur saat itu. Tetapi, ia mendengar masukan dari prajurit yang dinilainya logis. Terlebih informasi datang dari anak buah yang nota bene jauh lebih berpengalaman di medan tempur Timtim.

Setelah cukup menunggu, pasukan Doni pun merangsek ke hutan, memburu para milisi fretilin. Hari itu memang tidak ada Fretilin yang berhasil dilumpuhkan. Tapi keesokan harinya, sejumlah anggota milisi Fretilin yang takut diburu pasukan Doni Monardo, keluar hutan dan turun gunung. Mereka langsung menjumpai aparat teritorial yang ada di kampung dan menyatakan menyerah.

“Waktu itu, selain kami yang bertempur naik gunung dan masuk hutan, juga ada pasukan Sandi Yudha yang bertugas di kampung sebagai aparat pembina teritorial,” ujar Ketut.

Perburuan Malam Hari

Jika kita buka lembaran-lembaran sejarah operasi ABRI di Timtim, banyak kisah kelam yang tercatat di gunung Tiba Silo. Salah satunya adalah peristiwa dramatis saat 30 prajurit dihabisi Fretilin di lerang Tiba Silo, dan menyisakan 9 prajurit selamat. Itu terjadi tahun 1978.

Sejak itu, strategi operasi pun pelan-pelan diubah. Di era Doni Monardo, perburuan fretilin tidak lagi dilakukan siang, tetapi malam hari.

Pengalaman menarik lain dari operasi ini adalah ketika harus berada di hutan dengan larangan keras mandi. Untuk makan mereka dibekali ransum jenis T2. Setidaknya ada dua jenis ransum T2. Yang pertama adalah T2-ABC. Yang kedua adalah T2FD.

Ransum T2-ABC sekilas menyerupai kaleng kornet. Beratnya sekitar 400 gram dan terdiri dari beberapa pilihan menu seperti nasi ikan, nasi tumis daging cincang, nasi ayam bakar, nasi daging cabai hijau, hingga nasi gudeg daging.

Ransum tersebut diproduksi langsung oleh TNI dan masa kedaluwarsanya diprediksi hingga satu tahun. Teknik pengolahannya pun terbilang praktis. Para serdadu hanya perlu menghangatkan kaleng tersebut beberapa saat. Porsinya pun cukup besar, T2 dapat dikonsumsi oleh dua orang sekaligus.

Yang kedua dinamakan T-2FD. Ini adalah jenis ransum yang dikeringkan sehingga proses pengolahanya diseduh terlebih dahulu dengan air mendidih. Umumnya, menu ransum ini berupa ‘nasi bantal’, istilah yang sering digunakan oleh tentara. Cara penyeduhanya, nasi yang berada di dalam plastik disiram air panas lalu ditutup selama kurang lebih 15 menit. Kemudian plastik akan menggelembung menyerupai bantal bayi yang menandakan hidangan tersebut telah matang.

“Kami dibekali T2-ABC, tidak boleh bawa sikat gigi, odol, sabun, apalagi deodoran. Kami juga tidak boleh mandi selama operasi. Maksudnya agar aroma tubuh kita melebur dengan aroma hutan. Sebab kalau di hutan, orang membuka pepsoden baunya bisa kecium sampai jarak yang jauh,” kenang Ketut.

Itu artinya, kalau seminggu di hutan, ya seminggu pula tidak mandi. Kalau 10 hari, ya 10 hari tidak mandi. “Tergantung perbekalan. Kalau logistik habis, kami baru turun ke base camp, tapi selama perbekalan masih ada, kami tetap bertahan di hutan. Bila perlu hanya makan mie instan mentah dan minum dari sumber-sumber air yang ada di tengah hutan,” tambahnya.

Teramat banyak kenangan I Gusti Ketut Riama, yang kini berpangkat kapten dan berusia 57 tahun itu. Lelaki kelahiran Jembrana ini menyebut Doni Monardo sebagai komandan yang sangat cerdas, cepat beradaptasi dengan keadaan, dan memiliki insting atau feeling yang kuat.

Setahun bertugas bersama Doni Monardo, Ketut merasakan kepemimpinan yang kuat. Sangat memotivasi dan perhatian. “Setahun kami di bawah komando pak Doni. Tak terhitung berapa kali kami kontak senjata dengan milisi fretilin. Kami bersyukur, tidak satu pun yang terluka apalagi sampai meninggal,” kata Ketut dalam nada suara takzim.

Sungguh, hari itu Doni merasa sangat bahagia. Perasaan yang harus ia selalu pelihara, agar imun tetap terjaga. Sebuah kebahagiaan yang sederhana, yakni dengan menyapa dan memeluk pohon, serta mengenang hari-hari panjang di medan juang. (*)